Cerpenini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 9 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com. Cerpen Tentang Kematian merupakan cerita pendek karangan Irdandi Yuda Permana, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.
Mungkindi mata orang lain, kematianku adalah hal yang tragis dan menyedihkan, tapi untukku, kematian ini adalah kematian terindah, karena dengan kematian ini, aku dapat memeluk erat kekasih hatiku, separuh dari nyawaku, orang yang paling aku cinta, Andika Satria, dan kini aku tak akan melepasnya lagi.. Cerpen Karangan: Anteng Maya Surawi
cintaini ku bawa mati Maaf bal aku gak bisa nunggu kamu lebih dari ini. Sehari pun aku gak pernah bisa berhenti mikirin kamu, aku selalu berdoa kamu baik-baik aja dan gak akan lupa sama aku. 6 Februari 2011, A lot of love, febry-----Tak pernah terpikir olehku Tak sedikitpun ku bayangkan
Saatkeluar aku berencana marahin kakak karena ketukannya yang begitu memusingkan kepalaku. tapi, saat aku membuka pintu.. aku kaget setengah mati "KAKKAKAK belom pakai seragam?????"tanyaku setengah marah
Sebuahpeti yang terkubur. Kematian. Matikah aku? Mendadak aku merasakan rasa takut dan sesak yang amat sangat di dalam tempat ini, seperti penderita klaustrofobia yang panik kehabisan udara. Anjing! Buka petinya! Kudorong, kutinju, kutendang-tendang sembarangan sampai peti mati terkutuk itu berudarakan debu, tetapi tidak ada yang terjadi. Sia-sia.
restoran yg menyajikan aneka masakan di gerai. Apakah kamu menyukai novel sad ending? Akhir atau resolusi konflik dari sebuah novel dapat memiliki beragam tema, namun akhir yang sedih biasanya jauh lebih tertancap dalam benak pembaca. Sad ending dalam penulisan novel adalah salah satu jenis cerita yang memiliki dampak emosional paling kuat bagi pembaca. Nah, bagaimana cara membuat sebuah novel dengan cerita yang berakhir dengan kesedihan? Saya akan mengajak kamu untuk membahasnya dalam artikel kali ini. Kamu punya kisah hidup menarik untuk dijadikan buku namun bingung cara menuliskannya? Daftar Isi Artikel Pengertian Novel Sad EndingCara Membuat Novel Sad ending atau Happy-Sad ending1. Tokoh Protagonis Berhasil Mencapai Tujuannya tapi Kehilangan Sesuatu yang Penting2. Tokoh Utama Mengorbankan Tujuannya untuk Mendapatkan Sesuatu yang Lebih Penting3. Tokoh Utama Mengorbankan Dirinya Sendiri untuk Mencapai Kemenangan yang Lebih Berarti4. Tokoh Utama Gagal Mencapai Tujuannya Namun Berhasil Mencapai Sesuatu yang Lain5. Tokoh Utama Berhasil Mencapai Tujuannya, Namun Hanya Sebagian SajaKesimpulan Pengertian Novel Sad EndingCara Membuat Novel Sad ending atau Happy-Sad ending1. Tokoh Protagonis Berhasil Mencapai Tujuannya tapi Kehilangan Sesuatu yang Penting2. Tokoh Utama Mengorbankan Tujuannya untuk Mendapatkan Sesuatu yang Lebih Penting3. Tokoh Utama Mengorbankan Dirinya Sendiri untuk Mencapai Kemenangan yang Lebih Berarti4. Tokoh Utama Gagal Mencapai Tujuannya Namun Berhasil Mencapai Sesuatu yang Lain5. Tokoh Utama Berhasil Mencapai Tujuannya, Namun Hanya Sebagian SajaKesimpulanAsah kemampuan menulismuButuh bantuan? Pengertian Novel Sad Ending Jadi, sebenarnya apa yang dimaksud dengan novel atau cerita sad ending itu? Jika mengacu pada pengertian yang sederhana, maka cerita sad ending adalah cerita dengan akhir yang sedih, memilukan atau menyayat hati. Kebalikan dari sad ending adalah happy ending dimana cerita berakhir dengan bahagia, tawa dan keceriaan. Namun benarkah sesederhana itu pengertiannya? Jika sedikit lebih dirincikan maka pengertian sad ending dan happy ending lebih tepatnya dapat disampaikan begini; Novel Sad ending â Sebuah novel yang mengakhiri ceritanya dengan emosi yang negatif, seperti sedih, kecewa, marah, patah hati dan Happy Ending â Sebuah novel yang mengakhiri ceritanya dengan emosi yang positif seperti bahagia, ceria, kesenangan, kepuasan dan semacamnya. Di antara kedua jenis ending dalam penulisan cerita tersebut, ada sebuah ending yang lebih ideal untuk digunakan. Ending ini pada umumnya sudah sangat umum diaplikasikan, hanya saja beberapa penulis yang menggunakannya sendiri, mungkin tidak menyadari jika telah menggunakan ending novel jenis ini. Ending ini disebut happy-sad ending atau ending bahagia sekaligus sad ending sedih, atau sebaliknya; sedih sekaligus bahagia. Bagaimana maksudnya? Maksud esensial dari happy-sad ending adalah memadukan antara emosi positif dan negatif yang saling mengikat pada akhir cerita. Atau dapat pula diartikan bagaimana kesedihan yang menuntun pada kebahagiaan. Dan bisa pula sebaliknya, kebahagiaan yang menuntun pada kesedihan. Cara Membuat Novel Sad ending atau Happy-Sad ending Novel sad ending kadang memang mengecewakan pembaca. Dalam arti, bahwa apa yang menjadi harapan pembaca untuk karakter dalam cerita justru tidak menjadi kenyataan. Bahkan sebaliknya, novel sad ending kematian misalnya malah mengkahiri kisahnya dengan kematian yang memilukan. Akan tetapi sebenarnya, novel sad ending paling sedih sekalipun harus memiliki akhir yang bahagia. Maksudnya bagaimana? Sad ending tapi bahagia, bukankah itu terdengar membingungkan? Benar, novel dengan sad ending tidak seharusnya hanya memberikan akhiran sedih semata-mata. Harus ada sebuah emosi positif yang menjadi pesan bagi pembaca dibalik kesedihan yang nampaknya menjadi warna pada akhir cerita. Untuk lebih mudahnya, mari saya ajak kamu untuk melihat lima tips membuat novel sad ending happy-sad ending sekaligus pula dengan contohnya berikut ini. 1. Tokoh Protagonis Berhasil Mencapai Tujuannya tapi Kehilangan Sesuatu yang Penting Cara pertama untuk membuat novel sad ending sekaligus happy ending adalah dengan membiarkan karakter utama mencapai apa yang menjadi tujuannya, namun juga merasa kehilangan pada saat yang bersamaan. Untuk memastikan bahwa perasaan kehilangan yang ditimbulkan pada penghujung cerita benar-benar memberi satu perasaan sedih pada pembaca, maka itu haruslah sesuatu yang sangat berarti bagi tokoh utama. Contohnya begini; Kamu menulis sebuah novel dengan tokoh protagonis yang memiliki tujuan utama untuk mendapatkan kedudukannya kembali sebagai raja di sebuah kerajaan yang direbut oleh pamannya sendiri. Nah, dalam upaya memperjuangkan tujuannya ini, tokoh utama protagonis dibantu oleh kekasihnya yang setia. Untuk mengkahiri kisah ini menjadi sebuah cerita happy-sad ending, kamu dapat membuat tujuan tokoh utama tercapai untuk menjadi raja. Akan tetapi ia harus kehilangan kekasihnya sebagai harga dari keberhasilan tersebut. 2. Tokoh Utama Mengorbankan Tujuannya untuk Mendapatkan Sesuatu yang Lebih Penting Photo by Ali Kazal on Cara yang kedua untuk mendapatkan akhir happy-sad ending adalah dengan menjadikan tokoh protagonis ceritamu terpaksa mengorbankan tujuannya demi mencapai sesuatu yang lebih baik. Seperti halnya cara yang pertama, cara kedua ini juga dapat efektif jika kamu membuat tujuan yang dimiliki oleh tokoh cerita benar-benar penting dan bernilai. Pembacamu tidak akan tersentuh jika pengorbanan tujuan yang dilakukan tokoh utama tidak memiliki arti yang penting. Bagaimana contohnya? Kita kembali kepada contoh sebelumnya dimana tokoh utama adalah seorang pangeran terusir yang berjuang untuk mendapatkan tahtanya kembali sebagai raja. Nah, bagaiaman supaya akhirnya dapat menjadi happy sad ending dengan menggunakan cara yang kedua ini? Kamu misalnya bisa membuat pada akhir cerita sang pangeran sebagai tokoh utama mengorbankan kesempatannya untuk mendapat tahta sebagai seorang raja, demi untuk menyelamatkan nyawa kekasihnya. Dalam hal ini, kamu membuat tokoh utama kehilangan tokoh tujuannya yang penting tahta dan kekuasaan untuk mencapai sesuatu yang lebih penting lagi cinta. 3. Tokoh Utama Mengorbankan Dirinya Sendiri untuk Mencapai Kemenangan yang Lebih Berarti Kamu tentu masih ingat dengan bagaimana Iron Man Tony Stark mengorbankan dirinya sendiri supaya teman-temanya bisa mengalahkan Thanos dalam Endgame, kan? Dalam artian yang sederhana ini adalah cara mengakhiri sebuah cerita dalam novel dimana tokoh utama cerita akhirnya harus mengorbankan dirinya sendiri supaya tujuan yang lebih besar tercapai. Tujuan yang lebih besar ini bisa jadi adalah kemenangan bersama mengalahkan antagonis untuk menyelamatkan alam semesta seperti yang dilakukan oleh Tony Stark. Atau jika kita menggunakan contoh sebelumnya, maka aplikasinya dapat dilakukan seperti ini; Kamu dapat membuat akhir yang dramatis dimana tokoh protagonis mengalami kesulitan untuk mengalahkan pamannya yang telah merebut takhta kerajaan dari dirinya. Kekuatan sang paman tidak tertandingi dan ia berlaku sangat kejam, siapa pun yang membantu tokoh utama akan dihukum mati. Kemudian kamu dapat membuat situasi tokoh utama terjepit dimana semua orang yang membelanya tertangkap dan akan dijatuhi hukuman mati. Untuk menyelamatkan orang-orangnya yang membela dirinya, pada akhir cerita sang pangeran harus mengorbankan dirinya sendiri. 4. Tokoh Utama Gagal Mencapai Tujuannya Namun Berhasil Mencapai Sesuatu yang Lain Hal lain yang dicapai dalam cara mengakhiri novel dengan sad ending yang ketiga ini, haruslah memberikan satu makna yang mendalam supaya pembaca dapat ikut merasakannya. Hal bermakna tersebut dapat berarti menjadikan sesuatu yang membuat tokoh utama menjadi lebih bijaksana. Jadi, jika kita kembali menggunakan contoh di atas sebagai cara untuk mengaplikasikan jenis happy-sad ending yang satu ini, maka bisa saja perwujudannya adalah sebagai berikut; Pada akhirnya sang pangeran terbuang itu tidak berhasil menjadi raja. Setelah pangeran berhasil mengalahkan pamannya yang jahat, tampuk pemerintahan ia serahkan pada anak si paman yang justru membela dirinya dalam memperjuangkan kebenaran. Sang pangeran sendiri, memilih untuk mendirikan sebuah padepokan spiritual dan hidup damai bersama para pengikutnya di tempat yang baru. Dengan ending seperti ini kamu dapat melihat bahwa tujuan utama tokoh utama gagal diraih. Akan tetapi sesuatu yang lebih bermakna cinta, persaudaraan, kasih sayang dapat ia peroleh. 5. Tokoh Utama Berhasil Mencapai Tujuannya, Namun Hanya Sebagian Saja Selanjutnya cara yang terakhir untuk mencapai happy-sad ending adalah dengan membiarkan tokoh utama untuk mencapai tujuan, namun tidak sepenuhnya. Ada satu bagian penting dari keutuhan tujuan utama yang ikut hilang bersamaan dengan tercapainya tujuan tersebut. Nah, bagaimana cara mengaplikasikannya. Sang pangeran berhasil menjadi raja, mengalahkan pamannya yang durhaka dan kembali ke singgasana seperti tujuannya. Akan tetapi dalam upaya memperjuangkan semua itu, salah satu daerah kekuasaannya yang paling istimewa justru hilang. Sekarang kamu dapat melihat dengan jelas, bukan? Bagaimana tujuan tokoh utama berhasil tercapai tapi itu sudah tidak utuh lagi. Salah satu bagian penting dari keutuhan tujuan tersebut tidak lagi ia dapatkan. Kesimpulan Dalam membuat novel sad ending, happy ending atau ending jenis apa pun saja, seorang penulis tetap harus melakukannya dengan sangat baik dan terencana. Sentuhan bagian akhir adalah closing cerita yang sudah kamu tulis panjang lebar, jadi pastikan benar-benar bermakna dan terkesan di hati pembaca. BACA JUGA INI 9 TIPS SUKSES CARA MENJADI SEORANG PENULIS NOVEL8 TIPS AMPUH CARA MEMBUAT BAB DALAM NOVEL7 TIPS MENGGUNAKAN SUDUT PANDANG ORANG KETIGA DALAM MENULIS NOVEL Yuk, bergabung bersama kelas menulis online kami dan mulai hasilkan mahakaryamu Anton Sujarwo Saya adalah seorang penulis buku, content writer, ghost writer, copywriters dan juga email marketer. Saya telah menulis 19 judul buku, fiksi dan non fiksi, dan ribuan artikel sejak pertengahan tahun 2018 hingga sekarang. Dengan pengalaman yang saya miliki, Anda bisa mengajak saya untuk bekerjasama dan menghasilkan karya. Jangan ragu untuk menghubungi saya melalui email, form kontak atau mendapatkan update tulisan saya dengan bergabung mengikuti blog ini bersama ribuan teman yang lainnya. Tulisan saya yang lain dapat dibaca pula pada website; Saya juga dapat dihubungi melalui whatsapp di tautan ini. Butuh bantuan? Ada pertanyaan atau butuh bantuan? Kami ada untuk membantu Anda. Hubungi tim dukungan kami yang ramah via WhatsApp.
Diskusi Babat Alas dan Selebrasi Cerpen-Cerpen Kematian 26 Februari 2012 Maya Nirwana-Bass Serasi Suatu ketika kami punya gagasan, kurang lebih begini "Pertemuan selanjutnya, tanggal 26 Februari, masing-masing bikin satu cerpen bertema 'Kematian'!" Ternyata, gayung bersambut. Kawan-kawan Komunitas Babat Alas sangat bersemangat mewujudkan gagasan tersebut. "Oke, semua harus bikin cerpen bertema kematian." Mengenai tema "Kematian" itu sendiri, didapatkan melalui sebuah KATA terakhir dari halaman sebuah buku. KATA tersebut diambil melalui kesepakatan yang diambil dengan metode Kami masing-masing mengajukan sembarang bilangan, lalu bilangan tersebut dijumlahkan. Hasil penjumlahan tersebut disepakati sebagai halaman sebuah buku. Dan, ternyata kata yang didapatkan adalah "MATI". Demikianlah, hingga pada akhirnya kami berkumpul pada Minggu pagi yang cerah. Hadir dalam pertemuan tersebut Zada Zahira Kartini dan M. Nur Aini Banyubiru, Asri Candrita Kudus, Ahmad Syarifuddin El-Syekripsi Demak. Masing-masing diberikan kesempatan untuk membacakan cerpennya. ASRI Candrita, membacakan cerpen "Satu Pagi Biru". "Satu Pagi Biru" mengisahkan tentang seorang gadis yang bernama Pagi. Ia kehilangan kekasihnya yang bernama Biru. Suatu ketika, Pagi melihat seorang lelaki belia yang mirip dengan Biru. Tetapi, ia tetap saja BUKAN BIRU. Karena penasaran, Pagi selalu mengikuti kemana lelaki belia itu pergi. Perlahan, tanpa disadari oleh Pagi, sosok Biru mulai tergantikan oleh lelaki BUKAN BIRU tersebut. Hingga pada suatu ketika terbongkarlah sebuah rahasia yang tersurat pada selembar surat Ibu. Ternyata, lelaki BUKAN Biru tersebut adalah adik Pagi. Mereka berselisih 9 tahun. Lelaki belia adik Pagi tersebut bernama SENJA. Setelah Asri Candrita, Zada Zahira Kartini membacakan sebuah cerpen yang cukup menyentuh berjudul "Selamat Jalan Cinta." Cerita tersebut mengisahkan tentang percintaan Eza dan Zahra. Cerita tersebut diawali dari tulisan-tulisan di diary, yang tertulis baik di laptop dan catatan di bukunya. Yang menjadi menarik dari kisah Zada adalah komentar dari kawan-kawan bahwa cerita Zada itu "FTV Banget." Dari situ akhirnya kawan-kawan tahu, bahwa Zada memang pernah berpengalaman di bidang pertelevisian. Ia pernah menjadi figuran utama dalam sebuah cerita FTv. Ia juga pernah membintangi iklan sebuah Bank Syariah di televisi. Walhasil, kawan-kawan pun merencanakan suatu saat akan membincang tentang film termasuk tentang penulisan skenario. Kemudian Menur M. Nur Aini membacakan cerpennya berjudul "Burung Misterius". Rupanya ini adalah sebuah kisah childhood. Kisah wafatnya nenek menjadi desain cerita. Cerpen Menur menjadi sangat dekat karena ia bercerita tentang pengalamannya, dan ia menuliskannya secara detail tentang kenangannya. Ia sangat rapi merawat kenangan tentang kebiasaan neneknya memberinya kelereng setiap kali ia main ke rumah. Akan tetapi, seperti yang disampaikan di awal, bahwa cerita ini adalah cerita kematian. Dan Menur dengan lihai mengemasnya dengan menghadirkan Burung Tuwu sebagai pertanda kematian. Yang terakhir adalah Ahmad Syarifuddin El-Syekripsi. Seperti halnya Menur, El-Syekripsi juga mengisahkan tentang pengalaman pada masa kecilnya. Bahwa ia memiliki seorang adik yang ketika ia ditanya, "Adik, mau punya adik lagi?" ia akan SELALU menjawab, "Aku mau punya adik lagi, tetapi adik dari tanah," katanya. Ternyata sang adik tak lama kemudian telah dipanggil ke sisi Tuhan Yang Maha Kasih karena wabah Demam Berdarah DB yang menyerang desanya. Dalam cerita tersebut, El-Syekripsi juga mengkritik kultur masyarakat pada saat itu yang masih mengesampingkan pengobatan medis. Sedangkan M. Rifan Fajrin, membacakan cerpennya berjudul "Jenazah-Malaikat". Lalu, di manakah Habib A Abdullah? Ohoho, ia datang terlambat. Dan itu diperparah dengan ia tak membaca sepotong pun cerpennya. hehehe. Piss Broo.. Akhirnya, mari berkarya menuliskan jejak sejarah kita masing-masing. Tetap semangat. Salam hangat, dan doa kuat-kuat.[]
Cerpen Karangan Faiqotul MunirohKategori Cerpen Cinta Sedih Lolos moderasi pada 22 June 2016 Pagi ini tidak bersahabat, langit yang biasa terlihat indah dengan sinar mentari indahnya, tiba-tiba enggan membagikan sinarnya pada bumi. Sehingga tampak mendung yang disertai gerimis. Membuat hati ini semakin redup seakan alam turut merasakan kesedihanku. Satu minggu yang lalu saat aku ingin masuk kelas, tiba-tiba terjadi sesuatu padaku yang tidak terduga. Kepalaku terasa sakit, tidak aku sadari tetesan darah keluar dari hidungku, dan tiba-tiba aku sudah ditemukan tergeletak dengan tidak sadarkan diri. Ketika perlahan ku membuka mata, asing, aneh, bingung yang ku rasakan dengan ruangan itu. Kutanyakan pada diriku sendiri, âDi manakah akuâ dalam batinku. Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang semakin lama, suara itu mendekat padaku. Ternyata sosok itu adalah kekasihku yang paling aku sayangi. âHai Ra, kamu sudah sadar.â Sapanya halus âAku ada di mana sekarang?â Tanyaku âKamu sekarang ada di rumah sakit.â Jawabnya singkat âKenapa aku bisa ada di sini, ada apa denganku?â aku terus bertanya-tanya âTiga hari yang lalu sewaktu di kelas kamu tidak sadarkan diri, kamu mengalami koma tiga hari.â âKenapa bisa seperti itu, apa yang terjadi padaku Van?â Tanyaku dengan terkejut Ketika pertanyaanku keluar, tiba-tiba wajah Revan terilhat berubah. Dia sedih sampai tidak sadar meneteskan air matanya, dan entah apa yang dia tangisi sehingga aku juga merasa bingung. âAku berharap saat kamu mendengar semua ini tidak terkejut dan sedih. sesungguhnya kamu di Diagnosa terkena kanker Otak staidum akhir.â Jawabnya dengan kesedihan yang terihat di wajahnya Seketika aku terkejut dengan jawabannya, tapi aku tidak ingin melihatnya semakin bersedih karena keadaanku seperti ini. Aku berpura-pura untuk terlihat tenang di depannya seakan-akan tidak terjadi apapun padaku. Tapi sesungguhnya saat itu hatiku sangat hancur, pikiranku kacau. Serentak aku menyuruhnya keluar dari ruangan penuh dengan bau obat-obatan. Dan setelah dia keluar, tetasan air mata sudah tak kuat kutahan sampai akhirnya membasahi pipiku. Aku sangat sedih karena penyakit itu terlihat ganas, tapi apalah daya penyakit ini sudah menyatu dengan tubuhku. Tidak tahu aku masih bisa bertahan berapa lama lagi, jika aku boleh meminta aku ingin hidup lebih lama lagi dengan orang yang aku sayangi. Setelah satu minggu aku berada di rumah sakit, aku pulang ke rumah diantar Revan, dengan perasaan yang sama. Sesampainya di rumah, aku langsung merebahkan tubuhku di ranjang tempat tidurku. Di situ aku mengambil buku kumpulan semua curhatku. Buku diary itu pemberian dari kekasihku Revan, aku menulis 12 September 2009 Dear Allah Apakah aku masih bisa merasakan kehidupan yang lebih lama dengan orang-orang yang ada di dekatku. Aku tidak ingin melihat Revan bersedih karena ku Tuhan. Aku sangat sayang padanya, aku ingin merasakan hidup bersama dalam satu keluarga dengannya, aku tidak ingin berpisah, aku ingin selalu bersamanya. Sebelum aku berpisah dengannya, apakah aku boleh pergi ke tempat faforit kami Tuhan. Aku siap diambil nyawaku, tapi setelah aku pergi bersamanya. Tuhan aku ingin membuatka sebuah lagu, tapi tangan ini sudah tidak berdaya. Sepertinya tenagaku terkuras habis, tubuhku semakin lemas, dan sepertinya aku juga ingin berbaring dan tidur di tempat tidurku. Tapi sebelumnya aku ingin mengucapkan kata âI Love You Revan.â Fara Mungkinkan diary itu terakhir yang aku tulis, karena aku merasa hidupku sudah tidak lama lagi, dan disisa umurku ini aku ingin membuat orang-orang yang aku sayangi bahagia. Aku tidak ingin mereka terpuruk karena kepergianku nanti. Aku mencoba untuk tegar dan kuat dihadapan mereka, mungkin melalui penyakit ini aku bisa lebih dekat dengan mereka. Mungkin ini memang sudah jalan terbaik untukku. Walaupun Revan sudah mengetahui penyakit yang aku derita, dia tetap sayang dan cinta padaku. Sore itu Revan datang ke rumahku, tanpa menunggu lama dia masuk ke kamarku tapi melihat aku sudah tergeletak di lantai tidak sadarkan diri. Revan pun langsung membawaku ke rumah sakit. Seandainya tidak ada Revan waktu itu, mungkin aku sudah tidak bias melihat dunia yang indah ini lagi. Saat itu keadaanku sudah sangat buruk dan mungkin ini juga pertemuan terakhir dengan mereka. Karena setelah aku sadar beberapa menit, aku kembali tidak sadarkan diri dan koma. Angin menderu keras membelai apa saja yang ditemuinya. Membuat gorden putih ruanganku terombang-ambing terkena desahan nafasnya. Menebarkan aroma embun semerbak yang melayang-layang memenuhi ruanganku dan dengan beraninya menerobos. Pelahan aku membuka mata melihat semua orang yang aku sayangi ada di sekelilingku, termasuk kekasih yang aku cintai. Mereka terlihat senang saat aku membuka mata dari empat hari koma. Aku menahan sakit di hadapan mereka, memang aku tidak ingin melihat mereka sedih. Walaupun aku nantinya tidak jadi menikah dengan Revan, setidaknya aku sudah pernah merasakan kasih sayang dari Revan. âMungkin aku pergi terlalu pagi, maaf aku pergi mendahului kalian. Tapi aku tidak bisa mengingkari takdirku, mungkin ini bukti kalau aku disayang oleh Tuhan. Aku sayang sama Ibu dan buat kamu Revan kekasihku, kamu jangan pernah hapus rasa cintamu padaku, karena aku juga akan membawa cinta kita sampai nanti aku tidak ada. Aku sangat menyayangi kalian,â Dan kata perpisahan itu terucap dari mulutku âKamu tidak akan meninggalkanku Ra, aku percaya kalau kamu masih bisa sembuh. Jadi percayalah kalau kamu masih bisa hidup bersama keluargamu. Kemarin kamu bilang mau pergi ke pantai, yang dulu tempat awal jadian kita.â Ucap Revan dengan tersenggak-senggak menahan air matanya keluar âRevan, aku tidak akan pergi meninggalkanmu. Aku hanya ingin tidur sebentar saja, nanti kamu bisa bangunkan aku. Jadi Revan jangan menangis lagi ya.â Jawab Fara dengan meneteskan air mata Beberapa menit kemudian kebahagiaan itu pun hanyut dalam tetsan air mata. Tepat pada pukul 1100 pagi itu aku menghembuskan nafas terakhirku. Tapi, disitulah aku menemukan kebahigaanku kembali yang sempat terhanyut dalam lautan kesedihanku. Aku hanya berpesan pada Revan, jangan pernah menyerah. Aku di sini akan tetap cinta dan sayang padamu selamanya. Selesai Cerpen Karangan Faiqotul Muniroh Facebook Padamu Fanya Sayank Cerpen Cinta Berakhir Kematian merupakan cerita pendek karangan Faiqotul Muniroh, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya. "Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!" Share ke Facebook Twitter WhatsApp " Baca Juga Cerpen Lainnya! " Menunggumu Oleh Qoylila Azzahra Fitri Mataku menerawang entah ke mana. Pikiranku kosong, benar benar kosong. Aku melamun sangat lama. Aku penasaran dengan siswa baru yang akan mendatangi kelasku. Semoga laki laki. Yah, inilah aku, Yang Terlupakan Oleh Van Nusantar Berlari dari kenyataan pahit yang telah terpatri, membuatku menjadi sosok yang tak pernah aku mengerti. Rasa sesal ini, melekat erat bersemayam di dasar hati. Andai saja dosa itu tak Bertahan Sendiri Oleh Tasya Aulya R. Tak ada lagi kerlip di matamu. Tak ada lagi senyum penuh kehangatan di bibirmu. Dan tak ada lagi⊠Genggaman erat pemberi semangat darimu. Haruskah sekarang? Tak bisakah nanti? Saat Iâm Sorry Oleh Dewi kurniawati Kriiinggg âkara bangun alarmmu sudah berbunyi nak sholat subuh duluâ sudah kutebak itu pasti ibuku, âiya bu kara bangunâ dengan langkah berat dan mata yang masih setengah terbuka aku Putaran Oleh Muran âlalu mengapa kamu membawa ku kesini?â Suaranya terdengar di antara deruan angin saat senja itu, memecah kediaman ku selama beberapa saat âhmm, aku tau kamu tau..â âtau apa?â Aku âHai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?â "Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan loh, bagaimana dengan kamu?"
ArticlePDF AvailableAbstractWilliam Somerset Maugham's short story âThe Appointment in Samarraâ 1933 narrates a theme of how someone cannot avoid death, but the death is represented through a female figure. The research aims to expose a critic toward the representation of death through female character which is a cultivation of patriarchal ideas through literary works. This research used deconstruction framework as a reference to expose the paradox between woman and death. This was a qualitative research with an intertextuality approach. The data were in the form of quotations in the text and the source of the data was William Somerset Maughamâs short story âThe Appointment in Samarraâ. The data were collected through documentation technique and analysed with interpretation method. The results showed that the representation of death through woman was a patriarchal discourse and, with deconstructive reading, the narrative presented a paradoxical side; on one side, it presented that woman had horrible character, but on the other side, the horrible character implied power. Dismantling of the patriarchal discourse made the decon-structive process in this text became study of feminist deconstruction. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Atavisme, 22 2, 2019, 159-171 Copyright © 2019, Atavisme, ISSN 2503-5215 Online, ISSN 1410-900X Print 159 PEREMPUAN DAN KEMATIAN DEKONSTRUKSI DALAM âTHE APPOINTMENT IN SAMARRAâ KARYA W. S. MAUGHAM Woman and Death Deconstruction in W. S. Maughamâs âThe Appointment in Samarraâ Rahmat Setiawana,*, Sri Nurhidayahb,* a,*Universitas PGRI Adi Buana Surabaya, Jalan Dukuh Menanggal XII No. 4. Surabaya Telepon 031 8281181, Faksimile 031 8281183, Indonesia, Pos-el b,*STKIP Bina Insan Mandiri Surabaya, Jalan Raya Menganti Kramat No. 133, Wiyung â Surabaya Telepon 031 7671122, Faksimile 031 7673322, Indonesia, Pos-el nurhidayah Naskah Diterima Tanggal 23 Juli 2019âDirevisi Akhir Tanggal 31 Oktober 2019âDisetujui Tanggal 1 November 2019 Abstrak Cerita pendek âThe Appointment in Samarraâ 1933 karya William Somerset Maugham menarasikan tema bagaimana seseorang tidak dapat menghindari kematian, namun kematian direpresentasikan melalui sosok perempuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengung-kapkan kritik atas representasi kematian melalui tokoh perempuan yang mana itu merupakan penanaman ide patriarkat melalui karya sastra. Penelitian ini menggunakan kerangka berpikir dekonstruksi sebagai acuan untuk mengeksposisi paradoks antara perempuan dan kematian. Pe-nelitan ini bersifat kualitatif dengan pendekatan intertekstualitas. Data berupa kutipan dalam teks dan sumber data berupa naskah cerita pendek âThe Appointment in Samarraâ karya William Somerset Maugham. Pengumpulan datanya menggunakan teknik dokumentasi dan analisis data-nya dengan interpretasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa representasi kematian melalui pe-rempuan merupakan wacana patriarkat dan dengan pembacaan dekonstruktif, narasi tersebut menampilkan sisi paradoks; di satu sisi perempuan mengerikan di sisi lain sifat mengerikan meng-implikasikan kuasa. Pembongkaran wacana patriarkis itu menjadikan proses dekonstruktif dalam teks ini sebagai kajian dekonstruksi feminis. Kata kunci perempuan; kematian teks; dekonstruksi Abstract William Somerset Maugham's short story âThe Appointment in Samarraâ 1933 nar-rates a theme of how someone cannot avoid death, but the death is represented through a female figure. The research aims to expose a critic toward the representation of death through female character which is a cultivation of patriarchal ideas through literary works. This research used deconstruction framework as a reference to expose the paradox between woman and death. This was a qualitative research with an intertextuality approach. The data were in the form of quota-tions in the text and the source of the data was William Somerset Maughamâs short story âThe Appointment in Samarraâ. The data were collected through documentation technique and ana-lysed with interpretation method. The results showed that the representation of death through woman was a patriarchal discourse and, with deconstructive reading, the narrative presented a paradoxical side; on one side, it presented that woman had horrible character, but on the other side, the horrible character implied power. Dismantling of the patriarchal discourse made the decon-structive process in this text became study of feminist deconstruction. Keywords woman; death; text; deconstruction How to Cite Setiawan, R., Nurhidayah, S. 2019. Perempuan dan Kematian Dekonstruksi dalam Cerpen âThe Appoint-ment in Samarraâ Karya Maugham. Atavisme, 22 2, 159-171 doi Permalink/DOI Rahmat Setiawan, Sri Nurhidayah/Atavisme, 22 2, 2019, 159-171 160 Copyright © 2019, Atavisme, ISSN 2503-5215 Online, ISSN 1410-900X Print PENDAHULUAN Sebagai acuan yang referensial, perma-salahan yang perlu digugat adalah ketika perempuan selalu dibicarakan, terlebih perempuan muncul menjadi masalah ke-tika perempuan tersebut dihadirkan dalam sebuah teks. Dalam cerpen âAp-pointment in Samarraâ karya William Somerset Maugham, narasi mengenai pe-rempuan sebagai sosok Kematian dibawa dalam bentuk anekdot, namun ada para-doks di dalamnya. Di satu sisi perempuan menjadi sangat mengerikan, namun di sisi lain perempuan menjadi sangat ju-mawa atas laki-laki tokoh lainnya. Meli-hat ini, pembacaan dekonstruktif menjadi sebuah alternatif yang dapat mengako-modasi paradoksikal wajah perempuan dalam cerpen ini. Terlebih masalah pe-rempuan dan mitos kematian dalam cer-pen ini juga akan dibawa bertamasya da-lam dunia intertekstualitas sehingga me-reka akan saling menggugat sejauh wa-cana tersebut saling berkaitan dan beri-ringan. Cerita pendek âThe Appointment in Samarraâ 1933 menarasikan seorang saudagar yang memiliki pelayan. Ketika di pasar, si pelayan disapa oleh perempu-an, entah bagaimana, si pelayan ketakut-an karena ia merasa si perempuan adalah kematian. Ia pulang dan meminta si sau-dagar untuk meminjaminya kuda. Si pela-yan ingin melarikan diri dari kematian dan pergi menuju Samarra. Si saudagar menemui si perempuan untuk menanya-kan mengapa ia mengancam pelayannya dan si perempuan justru mengatakan bahwa itu bukan ancaman, melainkan sa-paan bahwa mereka akan bertemu di Sa-marra. Anekdot dalam cerita tersebut mewacanakan dua poin pertama menge-nai mitos kematian dan kedua mengenai representasi perempuan. Kedua poin ter-sebut merujuk pada narasi patriarkis. Narasi patriarkis menawarkan citra kekuasaan atau dominasi laki-laki atas perempuan. Karena bersifat representatif, narasi patriarkis dihadir-kan melalui citra-citra implisit sehingga tidak memiliki kesan denotatif bahwa ia melegitimasi kekuasaan laki-laki atas wa-cana yang disebarkan Demirhan & Ăakir-Demirhan, 2015. Citra perempuan, secara historis, memang sudah dinarasikan dalam posisi rendah. Kebanyakan mereka hadir dalam teks-teks klasik sehingga keniscayaan ini menjadi semacam doksa atas diri perem-puan. Dalam mitologi Yunani klasik, po-sisi perempuan sudah dilenyapkan dalam perannya, baik secara historis, kultural, maupun sosial. Mereka bukan hanya dile-nyapkan, namun mereka juga diabstrak-sikan dalam mitos-mitos yang kurang ra-mah yang terfiksasi dalam wacana mere-ka, terutama secara mitologis dan wacana yang mengekornya. Misalnya, mitos Yu-nani kuno, Medusa, wanita yang memati-kan dengan kepala ular. Sebaliknya, Aphrodite Venus dalam budaya pasca-imperialisme Romawi digambarkan se-bagai dewi kecantikan, cinta, dan keang-gunan, tapi dalam proses penciptaannya dia adalah buih yang keluar dari laut, se-dangkan laut adalah Neptunus Dewa. Jika Medusa dinarasikan sebegitu menge-rikan dan mematikan, Aphrodhite justru terlahir sebagai bagian dari Neptunus Hard, 2003. Keduanya menarasikan sisi rendah dari suatu tokoh subjek memati-kan dan objek seksualitas. Selain itu, dalam karya sastra klasik, kisah Antigone karya agung Sophocles menarasikan bagaimana perempuan dija-dikan sosok yang akan menghadapi dan sudah ditetapkan sebagai objek tragedi Seaford, 1990. Karya agung Aeschylus, Agamemnon, kisah seorang raja yang di-bunuh oleh istrinya, Clytemnestra, ka-rena sebuah dendam masa lalu, dan yang lebih parah adalah bahwa Clytemnestra berselingkuh dengan Aegisthus, yang ma-sih saudaranya Gainsford, 2005. Masih dalam porsi yang sama, keduanya menyi-ratkan posisi serta situasi perempuan Rahmat Setiawan, Sri Nurhidayah/Atavisme, 22 2, 2019, 144-156 Copyright © 2019, Atavisme, ISSN 2503-5215 Online, ISSN 1410-900X Print 161 sebagai sosok yang rendah. Tragedi ada-lah paradigma yang berlaku di era pra Sokrates. Pasca Sokrates juga tidak mengubah hal yang signifikan pada posisi perem-puan, para narator masih menganggap universalitas laki-laki. Perempuan hanya-lah objek yang menunjang kekuasaan serta dominasi laki-laki. Banyak teks atau mitos yang diselewengkan menjadi waca-na yang dinatural-patriarkiskan sehingga dipercaya bahwa perempuan adalah ke-benaran mengenai hal-hal yang negatif Ohmann, 2019. Dengan kata lain, narasi dalam teks sering menjadi instrumen untuk mene-gaskan kekuasaan patriarkis dan ini yang menjadi inti permasalahan dalam pene-litian ini; bahwa representasi perempuan melalui kematian merupakan pijar pa-triarkis yang perlu dibongkar, selayaknya mitos kecantikan. Dalam penelitiannya, Julian 2016 mengangkat mitos kecantikan dalam cer-pen-cerpen Dwi Ratih Ramadhany, yakni âJanda Sungai Gayamâ dan âPerempuan Bisu dan Cermin Ratuâ. Melalui teori mi-tos kecantikannya Naomi Wolf, ia meng-hasilkan tiga poin 1 kedua cerpen men-jelaskan bahwa cantik memiliki standar baku rambut hitam panjang, leher jen-jang, bibir merekah, tubuh wangi, kulit kencang-putih-mulus, dan langsing; 2 kedua cerpen tersebut menjelaskan bah-wa kualitas cantik merujuk pada perilaku yang dapat membangkitkan gairah dari-pada penampakan fisik; 3 kecantikan bukanlah kualitas instrinsik, namun ia di-pengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, yaitu kosmetik dan kekuatan suprana-tural. Dari sana, Julian berpendapat bah-wa mitos kecantikan berdasarkan pada selera laki-laki Julian, 2016. Selain mi-tos kecantikan, hasrat perempuan yang ingin didominasi laki-laki adalah korelasi nyata untuk menegaskan bahwa perem-puan sudah berada pada level repre-sentasi yang degradasi atas kuasa maskulinitas yang hegemonik Connell & Messerschmidt, 2005. Kelebihan penelitian Julian adalah bagaimana ia mampu menguraikan per-masalahan mitos kecantikan namun ke-kurangannya terletak pada bagaimana ia memfokuskan analisis pembongkaran mitos kecantikan dengan fisikal referensi. Artinya, penelitian ini melakukan proses pembedahan dengan pembongkaran yang lebih bernuansa antropologis, kul-tural, dan mitologis karena perempuan di dalam penelitian ini tidak diuraikan seca-ra fisikal, namun secara kultural. Untuk mengatasi kelemahan dan ke-kurangan penelitian yang sudah dipapar-kan tersebut, penelitian ini menjelaskan status eksklusif dalam menawarkan ga-gasan pembongkaran teks naratif yang je-las mengimplikasikan suatu representasi perempuan dalam kuasa patriarkis. Ini bukan hanya mengenai mitos, kecanti-kan, atau hegemoni, melainkan tentang narasi-narasi kematian yang direpresen-tasikan melalui perempuan. Dengan adanya wacana diskursif mengenai kuasa patriarkis tersebut, ma-ka pembacaan dekonstruktif menawar-kan semacam kritik. Dari kritik, hadir wa-cana tandingan disisipkan sebagai upaya untuk menantang tradisi patriarkis mela-lui teks naratif. Dengan melihat konteks ini, maka Dekonstruksi Derrida dapat dijadikan se-bagai alternatif untuk membongkar per-gulatan mengenai kebenaran perempuan dalam sebuah teks karena teks bersifat terbuka. Keterbukaan teks ini tampak sa-ngat jelas ketika pembaca masuk dalam sebuah cerita atau narasi seperti cerpen âThe Appointment in Samarraâ. Secara teoretis, hal yang krusial, yang sangat perlu untuk diperhatikan adalah Derrida melepaskan konteks de-ngan teks sehingga segalanya tampak menjadi ambigu dan berpotensi untuk berjungkir-balik, berlawanan, serta ber-negasi satu sama lain. Rahmat Setiawan, Sri Nurhidayah/Atavisme, 22 2, 2019, 159-171 162 Copyright © 2019, Atavisme, ISSN 2503-5215 Online, ISSN 1410-900X Print Bahasa, bagi pemikir garis keras strukturalisme, adalah sistem tanda yang mengekspresikan ide Chandler, 2005. Tanda sendiri adalah kumpulan penanda dan petanda Hawkes, 2002. Apa yang dapat ditangkap adalah bahwa bahasa adalah sebuah sistem dan bahasa adalah sebuah struktur Page, 2004. Bahasa adalah elemen penting untuk melepaskan manusia dari dunia ide ke dunia fenomena atau realitas. Jadi, manu-sia hanya direpresentasikan oleh bahasa. Jika bahasa terstruktur, maka manusia ju-ga terstruktur. Ini merupakan cara bagai-mana paham strukturalisme menem-peleng filsafat dengan gagasan yang ber-tujuan untuk melihat dunia sebagai sebu-ah struktur Barbosa de Almeida, 2015. Struktur bukanlah hal yang rumit untuk dipahami karena struktur merupa-kan asas yang jelas, mutlak, pasti, tertata, terorganisasi, dan dapat dipahami de-ngan jelas. Struktur adalah model abstrak dari organisasi. Di dalamnya terdapat un-sur serta komposisi yang terhubung da-lam totalitas yang sistemik. Sederhana-nya, hubungan antara komponen-kom-ponen tanda-tanda adalah bagian yang cukup penting dari pembentukan signifi-kansi makna dari segala sesuatu dan segala sesuatu akan memiliki makna jika terstruktur Hawkes, 2002. Untuk menyajikan kebenaran, mela-lui hubungan yang ketat antara penanda dan petanda, Derrida menyebut Metafi-sika Kehadiran Bradley, 2008. Bagi Derrida, hubungan antara penanda dan petanda, dalam sistem tanda, bukanlah hal kaku dan stabil, melainkan hubungan yang tidak stabil karena tidak adanya ja-rak antara penanda dan petanda. Derrida melihat teks bukan sebagai tanda-tanda, melainkan jejak-jejak. Da-lam tanda, ada pemisahan antara pe-nanda dan petanda, sementara dalam jejak, penanda dan petanda mencair dan kabur. Jika sebuah penanda mengacu pa-da petanda, jejak mengacu pada jejak-jejak lainnya yang tidak terbatas sehing-ga, yang harus dipahami adalah bahwa bagi Derrida, sebuah teks bukanlah se-buah kesatuan struktural yang penuh se-perti yang dicita-citakan oleh para struk-turalis Stocker, 2006. Setiap teks selalu memuat elemen-elemen yang menolak to differ keutuh-an dan menunda to defer makna penuh-nya. Struktur teks selalu dianggap mem-punyai pusat tertentu dan hal itu yang membuat makna-makna yang lain tidak dihadirkan dan ini yang disebut Derrida Logosentrisme Norris, 2017. Logosentrisme adalah tradisi filsafat yang memburu telos akhir, tujuan, mak-sud. Dengan menjadikan logos sebagai telos, bagi Derrida itu merupakan Keke-rasan Metafisik. Bagaimanapun juga, pu-sat selalu tersebar di luar struktur dan oleh karena iu teks selalu terbuka Stocker, 2006. Logosentrisme dapat dipahami mela-lui derivasi kata logos, yang berarti kebe-naran atau pengetahuan, dan sentrisme, yang berarti terpusat. Logos adalah istilah Yunani yang berarti Kata, Kata mengacu pada rasionalitas, kebijaksanaan umum, prinsip intelektualitas Norris, 2017. Logos juga diketahui sebagai makna pembicaraan, logika, rasio, dan kata-kata Tuhan. Jadiâdalam artian yang sederha-naâlogosentrisme dapat dipahami seba-gai sebuah gagasan atau ide yang mem-percayai bahwa ada pusat dari segala sesuatu berdasarkan logos. Dalam kon-teks Derrida, kritik ini menunjuk hidung Ferdinand de Saussure yang Linguistik-nya ilmu mengenai bahasa memu-satkan Suara sebagai objek studi dan me-nyepelekan Tulisan memusatkan Suara namun memarjinalkan Tulisan. Derrida menguhubungkan fakta ini sebagai fonosentrisme dengan logosentris-me, yang paling awal dan terakhir adalah logos, yang merupakan kehadiran dari diri dan kesadaran diri sepenuhnya Sarup, 1988. Rahmat Setiawan, Sri Nurhidayah/Atavisme, 22 2, 2019, 144-156 Copyright © 2019, Atavisme, ISSN 2503-5215 Online, ISSN 1410-900X Print 163 Dengan mengeksposisi kritik atas lo-gosentrisme, Derrida mencoba menawar-kan gagasan mengenai de-sentrisme un-tuk setiap kebenaran yang dianggap sta-bil, atau dengan kata yang sederhana, me-nawarkan makna-makna yang lain plu-ral yang bahkan berkebalikan. Ada se-macam proses de-sentralisasi logosen-trisme, Derrida menyebutnya sebagai diffĂ©rance, yang terbetuk dari bahasa Pe-rancis yang berarti to differ untuk mem-bedakan dan to defer untuk menunda. Ide mengenai diffĂ©rance berfungsi untuk mengacaukan stabilitas makna Stocker, 2006. DiffĂ©rance bukanlah sebuah kata, de-finisi, atau konsep karena diffĂ©rance menghubungkan suatu proses untuk membedakan dan menunda, sebagai se-buah definisi dari satu penanda yang di-butuhkan dan tidak pernah selesai yang mengacu pada penanda lain, dan pada ke-seluruhan sistem penanda yang mem-bentuk bahasa Sarup, 1988. Lebih se-derhananya seperti ini; penanda adalah kata, petanda adalah konsep dalam pikir-an. Sebuah kata kucing, merujuk pada hewan berkaki empat, berbulu, makan ik-an, dan seterusnya. Tulisan yang dimi-ringkan adalah petanda, dan penandanya adalah kata kucing. Masalahnya, setiap petanda pasti sudah penanda, dan lebih kacaunya lagi, apa yang ditandai petan-da tidak pernah selesai ada kata dan se-terusnya yang merujuk pada tidak sele-sainya proses signifikansi. Artinya, semua petanda sudah merupakan penanda. Ber-arti, semuanya hanyalah penanda atau kata, kata yang merujuk pada kata lain-nya. Itu mengapa, tidak ada yang tetap absolut dan semuanya tertunda karena tak terselesaikan banyak kata yang tidak dihadirkan. Itu adalah konsep Derrida tentang diffĂ©rance. Jadi, dalam diffĂ©rance, differing me-ngacu pada sesuatu yang diberikan dan yang berbeda dengan yang sebelumnya, membangkitkan segala hal yang tidak mungkin, dan menghadirkan absensi se-mentara deferring mengacu pada bagai-mana makna akan selalu hadir dalam ar-tian selalu menunda dan tertunda. Kata tidak pernah mencapai stabili-tas, bukan hanya karena mereka berhu-bungan satu sama lain, atau mengambil bagian dari bentuk maknanya, atau kata-kata yang baru saja mendahului mereka, tetapi juga karena maknanya selalu di-modifikasi oleh apapun yang mengikuti-nya sebagai jejak. Pada akhirnya, jejak menjadi hasil dari ketakhadiran-ketakha-diran yang sudah dihadirkan. Derrida menggunakan istilah jejak pada struktur tanda sehingga makna mengandung arti-an-artian mengenai jejak atau yang Lain yang akan selalu hadir Sarup, 1988. Makna selalu hadir dengan makna-makna yang lain dan yang berbeda, na-mun Derrida lebih suka untuk menye-butnya dengan sous roture under erasue. Itu adalah sebuah tanda silang yang diadopsi dari Heidegger Stocker, 2006. Ia menggunakan istilah tersebut un-tuk mempertanyakan masalah Being. Oleh karena itu, makna yang plural meng-acu pada cara Derrida menjaga segala makna dan yang potensial dengan teks-teks yang bekerja sebagai rantai penanda Stocker, 2006. Dengan melihat itu semua, maka apa yang terangkum adalah sebuah istilah terkenal yang dinamakan Dekonstruksi, meski Derrida sendiri membenci nama tersebut. Bagi Derrida, teks selalu terbu-ka dan tidak ada ketidakmungkinan un-tuk memperluas jangkauan sebuah mak-na. Hal ini dikarenakan tidak ada hubung-an antara penanda dan petanda. Dengan kata lain, Derrida membuang semua kon-teks dari teks dan oleh sebab itu, teks selalu ambigu dan berpotensi mengeluar-kan apa yang disembunyikan dibaliknya yang selalu siap untuk ditelusuri sebagai jejak-jejak. Istilah yang sangat termasy-hur dari Derrida, âil nây a pas dâhors-texteâ Rahmat Setiawan, Sri Nurhidayah/Atavisme, 22 2, 2019, 159-171 164 Copyright © 2019, Atavisme, ISSN 2503-5215 Online, ISSN 1410-900X Print there is no outside-text tidak ada sisi-luaran teksâ Davidson, Derrida, & Spivak, 1979. METODE Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, dengan pendekatan intertekstualitas Kershner, 2014. Intertekstualitas ber-fungsi sebagai proses konektivitas antara satu teks dan teks lainnya sehingga ter-jadi fleksibilitas proses pemaknaan dan dari sana, makna dekonstruktif terben-tuk. Data berupa kutipan dalam bentuk kalimat, klausa, frasa, atau bahkan kata karena sumber data adalah cerita pendek naratif teks yang berjudul âThe Ap-pointment in Samarraâ 1933 yang dina-rasikan oleh William Somerset Maugham. Teksnya dapat diakses pada https// 320/ Pengumpulan data menggunakan teknik dokumentasi karena sumber data penelitian ini adalah teks naratif. Pe-ngumpulan data dilakukan dengan cara pembacaan berfungsi agar teks dapat di-pahami secara keseluruhan dan inter-pretatif, inventarisasi kutipan berfungsi agar kutipan yang merujuk pada perma-salahan dapat terkumpul, dan klasifikasi. Analisis datanya menggunakan tek-nik interpretasi kritis karena pembacaan dekonstruktif membutuhkan proses in-terpretatif kritis Watson & Wood-Harper, 1996. Langkah analisis dengan cara penelusuran struktur narasi, klasifi-kasi dengan oposisi biner, dan kemudian pembacaan dekonstruktif sehingga mak-na secara struktural terbongkar dan men-jadi wacana kritis. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pembacaan dekonstruktif dalam ce-rita pendek ini adalah paradoks yang ditampilkan oleh perempuan dalam ceri-ta pendek yang hadir sebagai kematian atribusi negatif, namun juga membong-kar dominasi maskulinitas yang direpresentasikan dalam narasinya untuk menciptakan getir ketakutan pada sisi fe-minine tokoh laki-laki dalam cerpen ter-sebut. Penjelasan lebih detail diurai da-lam bagian pembahasan. Konstruksi Perempuan dan Kematian Sebelum melakukan Dekonstruksi, perlu didaulatkan kembali struktur yang sudah mencetak makna atas teks cerpen âThe Appointment in Samarraâ karya William Somerset Maugham 1933. Berikut ini adalah naskah lengkap cerpen âThe Ap-pointment in Samarraâ kurang dari 1000 kata. There was a merchant in Bagdad who sent his servant to market to buy pro-visions and in a little while the servant came back, white and trembling, and said, âMaster, just now when I was in the marketplace I was jostled by a woman in the crowd and when I turn-ed I saw it was Death that jostled me. She looked at me and made a threat-ening gesture, now, lend me your horse, and I will ride away from this city and avoid my fate. I will go to Sa-marra and there, Death will not find me.â The merchant lent him his horse, and the servant mounted it, and he dug his spurs in its flanks and as fast as the horse could gallop, he went. Then the merchant went down to the market-place and he saw me standing in the crowd and he came to me and said, âWhy did you make a threating gesture to my servant when you saw him this morning?â âThat was not a threatening gesture, I said, it was only a start of surprise. I was astonished to see him in Bagdad, for I had an appointment with him tonight in Samarra.â Ada seorang pedagang di Bagdad yang mengutus pelayannya ke pasar untuk membeli persediaan-persediaan dan dalam beberapa saat pelayan datang kembali, dengan muka putih pucat dan gemetar, dan berkata, âTuan, ketika sa-ya baru saja sampai di pasar, saya Rahmat Setiawan, Sri Nurhidayah/Atavisme, 22 2, 2019, 144-156 Copyright © 2019, Atavisme, ISSN 2503-5215 Online, ISSN 1410-900X Print 165 didesak-desak oleh seorang wanita yang berada di dalam kerumunan dan ketika saya berbalik, saya menyadari bahwa yang mendesakku adalah Ke-matian. Dia menatap saya dan mem-beri isyarat ancaman dengan bahasa tubuh, sekarang, tolong pinjami saya kuda Anda, dan saya akan pergi jauh dari kota ini dan menghindari nasib saya. Saya akan pergi ke Samarra ka-rena di sana Kematian tidak akan me-nemukan saya.â Pedagang itu memin-jamkan kudanya, dan pelayan menai-kinya, kemudian dia memacunya pang-gul kuda dan dengan segera kuda ter-sebut berlari kencang membawa pela-yan itu pergi. Kemudian sang Pedagang pergi ke pasar dan dia melihatku ber-diri di dalam kerumunan dan dia men-datangiku seraya berkata, âMengapa Kau membuat gerakan mengancam ke-pada pelayanku yang Kau lihat pagi ini?â âItu bukan gerakan mengancam,â Aku mengatakan, âitu hanya kejutan awal. Aku malah terkejut melihat dia di Bagdad, karena aku punya janji dengan dia malam ini di Samarraâ Terjemah-an penulis. Jika dilakukan pembacaan struk-tural, maka poin-poin yang dapat diran-taikan adalah bahwa pelayan mempunyai Majikan, keduanya laki-laki, ada perem-puan yang merupakan Kematian. pelayan dapat menaiki kuda dan pergi ke Samarra. Pembacaan tersebut, memberi sinyal atau indikasi positif terhadap ke-mapanan teks yang menyebutkan bahwa perempuan dalam cerita itu adalah Ke-matian. Kematian memberikan ketakutan terhadap pelayan yang merupakan laki-laki. Melihat konteksnya, ketakutan disini adalah karena Kematian terkodifikasi sebagai penanda akhir kehidupan. Secara natural, hal tersebut membawa efek negatifitas dalam diri Kematian terhadap pelayan yang merupakan manusia. Terlepas dari masalah pelayan yang laki-laki atau Kematian yang perempuan, ada semacam intervensi disini terkait permainan tanda yang diberikan oleh teks tersebut. Penanda pertama adalah bagaimana seorang manusia dipertemu-kan dengan Kematian dan kedua adalah bagaimana manusia mencoba menghin dari Kematian, namun tetap tidak mam-pu menghindarinya. Dengan kata lain, ada semacam ko-relasi antara Kematian dan kehidupan manusia, yang mana Kematian merupa-kan asosiasi dari kengerian, kegelapan, keburukan, dan oposisi dari kehidupan yang merupakan dunia tempat manusia menjadi manusia. Artinya, Kematian ada-lah sebuah bentuk negatif dari kehidup-an. Kemudian, lebih jauh lagi dan lebih dalam lagi, apa yang dibalik pelayan dan Kematian tersebut adalah konstruksi gender. Atribut yang jelas direkatkan de-ngan sangat kuat adalah bahwa Pedagang dan pelayan merupakan laki-laki, dengan penanda stabilnya, menaiki kuda dan mencari nafkah, sedangkan Kematian merupakan perempuan, yang jelas-jelas sudah disebutkan dalam narasi cerita ter-sebut. Oleh karena itu, konstruksi yang terbentuk adalah bahwa Laki-laki adalah aspek yang positif terkait dengan peran-nya dalam kehidupan dalam teks ini sedangkan Perempuan adalah aspek yang terkait dengan perannya dalam Ke-matian, dan memang Perempuan disini adalah sang Kematian. Untuk memperjelasnya, maka Ta-bel 1 di bawah ini dapat digunakan seba-gai simpulan yang belum matang. Tabel 1 Konstruksi Pembacaan Struktural Tokoh pelayan adalah laki-laki dan ia ketakutan dengan perempuan yang ia jumpai di pasar, yang ia anggap sebagai sosok kematian. Artinya, pelayan Rahmat Setiawan, Sri Nurhidayah/Atavisme, 22 2, 2019, 159-171 166 Copyright © 2019, Atavisme, ISSN 2503-5215 Online, ISSN 1410-900X Print tersebut adalah manusia dan perempuan tersebut bukan manusia. Karena ia ma-nusia, maka ia memiliki kehidupan dan karena ia hidup, maka ia takut kematian. Kehidupan relevan dengan hal yang baik hidup dan kematian relevan dengan hal yang buruk mati. Semua yang ada pada kolom sebelah kiri menegaskan sesuatu yang terkesan positif dan yang kanan ter-kesan negatif. Dekonstruksi Kematian pada Wacana Perempuan Setelah mengaitkan teks tersebut dengan pembacaan struktural, maka yang dida-patkan adalah sebuah makna yang secara kamuflase dianggap sebagai makna yang penuh dan mapan, serta selesai. Namun, ini hanya sebuah upaya bagaimana sebu-ah teks ingin mencapai telos-nya pesan moral bahwa kematian tidak dapat dihin-darkan. Padahal seperti yang dijelaskan Derrida, ada kecenderungan untuk mem-perhatikan pada satu bidang, atau satu ti-tik sebagai fokus utama. Kecenderungan itu akan mematikan makna-makna yang lain, yang dibuang di wilayah marginal, atau dalam istilah ini adalah makna yang sengaja tidak dihadirkan. Lebih jauh lagi, kembali pada konteks ini, ada semacam intentional fallacy struktural dalam pro-ses memahami teks ini. Pertama, pembacaan struktural ini seperti menyepelekan bagaimana pasar diasosiasikan dengan Kematian, bagaima-na laki-laki takut dengan perempuan jika bukan Kematian, dan lain-lain se-hingga pembacaan dekonstruktif akan kembali membuka keran yang disumbat oleh ke-tak-becus-an pembacaan struktu-ral yang jelas dalam konteks ini, sangat patriarkat. Dengan melihat teks tersebut de-ngan segala keterbukaannya, maka hal yang pertama kali perlu mendapat perha-tian khusus adalah karakter pelayan. Ia seorang pembantu, laki-laki, dan pergi ke pasar. Ia pulang dengan tergesa-gesa ka-rena melihat Kematian dan pergi dengan menaiki kuda ke Samarra untuk meng-hindari Kematian. Pertama, tercetus pertanyaan, kaitan antara laki-laki dan pasar. Terlepas dari konteks ia seorang pelayan atau ia disu-ruh, maka akan terlihat sebuah perbeda-an mencolok bahwa laki-laki juga di pa-sar, tempat ia bertemu perempuan, yang merupakan Kematian. Pasar selalu lekat dengan citra pe-rempuan, tempat penawaran, pembelian, penjual, dan asosiasi ini kemudian runtuh ketika melihat bahwa pedagang juga akan selalu mendekat pada pasar tempat ia harus menjual. Meskipun melalui pela-yan maupun secara langsung, pasar men-jadi sebuah setting yang tepat untuk membongkar masalah citra ini. Terlebih, masalah kelas antara Majikan dan pela-yan, meski keduanya sama-sama laki-laki, keduanya memiliki perbedaan. Menyinggung masalah ini, ada para-doks maskulinitas yang diciptakan oleh pelayan; ia lari terbirit-birit oleh seorang perempuan karena takut kehidupannya akan dirampas oleh perempuan yang me-rupakan sosok Kematian. Pelayan, se-orang laki-laki yang pergi ke pasar tem-pat perempuan juga ke pasar, sudah me-rupakan bentuk jatuhnya susunan pat-riarkat ketika laki-laki di atas perempuan. Jika laki-laki lebih atas, maka dia tak se-harusnya berada di tempat perempuan berada, dengan analogi sederhana, jika ia seorang pelayan, mengapa ia tidak me-nunjuk perempuan untuk pergi ke pasar? Bukan karena ia pelayan, tapi karena ia laki-laki yang berprofesi sebagai pelayan yang membuatnya ke pasar. Di dalam dirinya, terdapat rantai penanda yang ti-dak stabil. Satu penanda laki-laki ber-benturan dengan penanda lain pasar yang berantai dengan penanda-penanda lain perempuan, rendah, feminin. Hal ini sekaligus menjelaskan ada-nya proses diffĂ©rance. Ada kontradiksi Rahmat Setiawan, Sri Nurhidayah/Atavisme, 22 2, 2019, 144-156 Copyright © 2019, Atavisme, ISSN 2503-5215 Online, ISSN 1410-900X Print 167 yang menjelaskan proses differing laki-laki tapi ketakutan melihat perempuan dan ada proses penundaan totalitas mak-na laki-laki laki-laki yang diperintah oleh laki-laki lain, laki-laki yang ketakutan atau feminine, dan seterusnya. Sejauh pelayan ini terikat dalam teks tersebut, sejauh itu pula makna yang di-hadirkan kacau dan tertunda-tunda. Yang sangat ekstrem adalah bahwa laki-laki dapat menjadi serendah perempuan, dan perempuan dapat menjadi setinggi laki-laki. Bagian selanjutnya adalah tentang keterikatan dengan masalah Kematian yang digambarkan melalui tokoh perem-puan yang berada dalam kerumunan di pasar. Penandaan ini jelas mutlak dan sadis karena perempuan tampak seperti bukan manusia sehingga laki-laki di sini adalah manusia dan perempuan bukan-lah manusia. Dalam logika diffĂ©rance, manusia mempunyai ciri khas hidup dan mati se-hingga kehidupan dan kematian adalah bagian dari kemanusiaan. Jika perempuan adalah Kematian dan laki-laki adalah ma-nusia, maka kehidupan adalah bagian la-ki-laki. Jika kematian adalah bagian satu-nya dari manusia, maka perempuan ada-lah bagian dari laki-laki, dan jika laki-laki atau manusia takut kematian, maka ini mengindikasi bahwa kehidupan lebih rendah dari kematian. Kematian adalah sebuah penanda akhir dari eksistensi manusia. Atau dengan kalimat yang lebih ringkas, manusia selalu ingin hidup, laki-laki selalu ingin hidup, dan jika mereka bertemu kematian mereka akan meng-hindar atau kalau mampu, kematian akan dihapus sehingga manusia tidak bertemu dengan kematian. Jika demikian, maka manusia bukanlah manusia karena ma-nusia harus hidup dan harus mati, mem-buang salah satunya menghapus definisi manusia. Itulah paradoks bagaimana makna selalu ter-beda-kan dan tertunda kehadirannya. Tidak ada yang total dan tidak ada yang lepas dari pluralitas para-doks maknanya sendiri. Dari sini, dapat dilihat bahwa laki-laki menempatkan perempuan sebagai Kematian, dan laki-laki ingin menghin-darinya karena Kematian adalah hal yang sangat mengerikan. Dengan ingin mem-buang Kematian yang merupakan bagian dari dirinya, laki-laki, atau manusia, men-jadi bukan manusia, karena ciri-ciri wa-jibnya dihapus. Perempuan malah men-jadi sesuatu yang utuh karena dia selalu mencari laki-laki, Kematian selalu menca-ri kehidupan sebagai sebuah pasangan. Ketika keduanya bertemu, terbentuklah manusia. Ini sekaligus mendekonstruksi kemapanan makna Kematian dan Kehi-dupan dalam teks ini. Melihat lebih jauh, mengenai yang konkret dan yang abstrak tentu masih terkait dengan masalah manusia dan bu-kan manusia, laki-laki sebagai manusia dan perempuan sebagai nonmanusia. Apa yang dapat dikatakan sebagai sesu-atu yang konkret adalah apabila hal ter-sebut terlewati secara empirik dan rasi-onal seperti yang dilakukan Kant dalam menggabungkan pernyataan sintetiknya intuisinya Rousseau dengan rasionalitas-nya Descartes Perkins, 1995, dengan begitu kekonkretan sesuatu menjadi mutlak. Dalam haluan ini, manusia dapat di-katakan konkret ketika manusia itu mempunyai eksistensi dan juga esensi, baik secara fisik maupun mental. Kemu-dian yang masuk dalam kategori abstrak adalah sesuatu yang sifatnya kabur dan tidak menentu, seperti hantu, iblis, seni, ide yang masih dalam pikiran, dan lain sebagainya sehingga manusia untuk menjadi abstrak ia harus keluar dari kon-kretisasi seperti menjadi hantu atau men-jadi ide. Jelas hal ini sangatlah berten-tangan mengingat manusia secara eksis-tensi memiliki raga dan secara esensi memiliki jiwa. Akan tetapi, dalam kaitan-nya dengan proposisi perempuan dalam Rahmat Setiawan, Sri Nurhidayah/Atavisme, 22 2, 2019, 159-171 168 Copyright © 2019, Atavisme, ISSN 2503-5215 Online, ISSN 1410-900X Print teks ini yang ditandai sebagai Kematian, yang merupakan ide bawaan yang ab-strak, maka perempuan kembali pada wi-layah ketidakmapanan sedangkan laki-laki menempati wilayah yang jelas dan pasti. Hal ini perlu ditendang lagi me-ngingat apa yang pasti dari laki-laki ada-lah bahwa dia pemberani, menaiki kuda layaknya pahlawan-pahlawan Troya yang berjuang menghadapi perang saudara, ataupun kisah-kisah heroik Sparta de-ngan kuda berpakaian besi, ternyata lebih pengecut dari seekor keledai yang hen-dak mengambil wortel yang berada di mulut singa, secara analogis. Tentu hal ini adalah sebuah pemba-likan yang luar biasa atas konkretisasi laki-laki sebagai manusia dan kematian sebagai yang abstrak. Kematian mengata-kan bahwa ia memiliki pertemuan di Samarra, ia hanya memberi sebuah gerak tubuh. Ia pasti memberi isyarat. Kepasti-an Kematian dalam teks ini memberi ru-ang nafas pada pembalikan bahwa Kema-tian itu konkret, pasti, dan tidak abstrak. Efek dari kematian adalah sebuah penan-da yang jelas mewakili kematian sebagai sesuatu yang konkret, sedangkan manu-sia dalam hal ini diwakili oleh pelayan berlarian ketakutan hanya melihat gerak tubuh kematian. Dia melarikan diri ke Samarra dan Kematian memang sudah di sana. Melihat hal ini, jelas akan membuat bimbang untuk memutuskan bahwa yang konkret adalah yang abstrak dan yang abstrak adalah yang konkret, atau bahkan karena satu sisi memiliki dua sisi seka-ligus, dan sisi lain memiliki dua sisi juga. Sampailah pada bagian terakhir de-ngan melihat antara baik dan buruk yang jelas langsung mengarah pada susunan hierarkis yang kolot akan tinggi dan rendah dalam takaran moral. Perempuan yang digambarkan sebagai Kematian, se-cara eksplisit menawarkan sebuah gagas-an akan kengerian bagi manusia, buruk dan sesuatu yang bersifat membahaya-kan. Dalam keadaan ini, tentu masih ter-buka kemungkinan munculnya makna baru bahwa Kematian justru adalah hal yang terbaik bagi pelayan. Pelayan adalah pembantu saudagar, saudagar mencipta-kan seekor monster yang bernama sistem hierarkis ingat Hegel, Master/Slave se-hingga untuk melepaskan diri dari pe-nyiksaan implisit serta perbudakan spiri-tualitas yang menjadi belenggu eksisten-sisnya, pelayan tentu sangat membutuh-kan Kematian demi menghapus sistem simbolik-sosial yang memborgolnya. Ek-sistensinya yang dipenjarakan harus di-habisi dengan begitu ia akan mencapai esensinya daripada ia eksis hanya diba-wah ketiak Majikan. Kematian menjadi sebuah momok yang menggembirakan, bukan momok yang menakutkan. Sisi lain, Kematian, meski harus ter-ikat dalam sebuah penandaan akan sesu-atu yang buruk, Kematian di sini juga da-pat dilihat dari teropong lain di mana Kematian secara garis besar telah mem-buat takut dan membuat penis laki-laki di dalam teks ini mengkerut ketakutan. Ke-matian yang merupakan perempuanâdalam teks iniâtelah mengebiri dan membuat kejantanan pelayan lenyap, ter-kecuali si pelayan yang rela menghadapi Kematian demi meminta kejelasan. Sau-dagar, sama halnya dengan pelayan, akhirnya harus mencari perempuan atau Kematian. Dia tidak serta-merta berdiam layaknya raja yang menempati posisi ter-atas dalam sistem hierarkis. Pada akhir-nya dia harus mencari perempuan. Di si-nilah sistem hierarkis antara laki-laki dan perempuan luntur dan cair seperti dapat dilihat dalam Tabel 2. Tabel 2 Pembacaan Dekonstruktif Rahmat Setiawan, Sri Nurhidayah/Atavisme, 22 2, 2019, 144-156 Copyright © 2019, Atavisme, ISSN 2503-5215 Online, ISSN 1410-900X Print 169 Teks ini tentu tidak muncul begitu saja, bagaimana perempuan menjadi aso-siasi dengan Kematian, dan Kematian ter-nyata juga tidak melulu tercaplok oleh berbagai teks yang menggelapkan ruang-nya, tapi banyak teks terutama dari ranah mitos-mitos kuno yang menempatkan perempuan sebagai makhluk dengan dua sisi yang memberi propaganda khusus kepada setiap wacana laki-laki yang men-coba mengukuhkan dirinya. Dengan begi-tu, intertekstual berikut akan menjawab berbagai masalah tersebut. Dalam cerpen âThe Appointment in Samarraâ karya William Somerset Maugham, narasi yang ditawarkan bersi-fat simbolik, terutama bagaimana sosok âkematianâ muncul dalam wujud perem-puan, sedangkan para lelaki Saudagar dan si Pesuruh, terutama si Pesuruh be-gitu ketakutan dengan kematian yang menyapanya. Melihat pola cerita seperti ini, maka akan muncul sebuah wacana yang sekilas tampak ambigu, apakah Pe-rempuan dalam sosok âKematianâ terse-but adalah sebuah mitos atau teks yang menyudutkan perempuan ataukah Pe-rempuan dalam sosok âKematianâ terse-but adalah sebuah mitos atau teks yang memporak-porandakan ketersudutan pe-rempuan dalam teks-teks sebelumnya? Dengan melihat hal tersebut, maka masa-lah dalam makalah ini mulai terkuak da-lam sebuah rajutan dekonstruksi di mana pluralitas serta paradoksikal perempuan dalam cerpen ini menjadi jejak-jejak yang ditawarkan. Dimulai dari sebuah stere-otip yang selalu dilekatkan, dengan me-ngaplikasikan intertekstualitas, maka wa-cana mengenai Death yang dalam cerpen âThe Appointment in Samarraâ yang diru-jukan pada perempuan, menjadi semakin menegas seiring konstruksi mengenai perempuan sebagai makhluk yang buruk dan pembawa kematian. Stereotip yang melekat pada perem-puan tidak muncul begitu saja. Sejak ber-abad-abad lalu, berbagai wacana menge-nai femme fatale sudah muncul saat era sebelum agama Kristen lahir. Fatal dapat diartikan sebagai sesuatu yang mengan-dung bahaya yang juga dapat mengun-dang kematian. Berdasarkan wacana-wa-cana tersebut, perempuan-perempuan tersebut ada yang cantik, kuat, tidak ter-kontrol, dan menggoda. Namun, ada juga yang buruk rupa, gila, destruktif, dan am-bisius. Dari seluruh karakteristik terse-but, sosok femme fatale mengantarkan kekuasaan laki-laki pada kehancuran. Fallaize menyebutkan bahwa femme fatale mitos-mitos mengenai perempuan yang bertanggung jawab atas dosa daging dan menggoda laki-laki seperti Eve atau Hawa, putri duyung, dan vampir perem-puan Hanson & Oârawe, 2010. Femme fatale yang digambarkan me-miliki wajah buruk rupa sekaligus sangat kuat adalah Lamasthu. Dalam tradisi ku-no agama Mesopotamia, Lamasthu ada-lah iblis perempuan paling menakutkan. Ia adalah anak perempuan dari dewa la-ngit Anu yang menggorok anak-anak, dan meminum darah dan memakan daging laki-laki. Selain itu, ia mengganggu tidur, menyebabkan mimpi buruk, mematikan dedaunan, mengeringkan sungai, menye-barkan penyakit, mengikat otot laki-laki, dan menggugurkan kandungan. Dalam jimat, Lamasthu sering di-gambarkan sebagai figur berkepala singa atau burung yang memegang ular berke-pala dua di masing-masing tangannya dan menyusui anjing di payudara kanan-nya dan babi di payudara kirinya. Dalam cerita-cerita anak di Barat, misalnya, citra tokoh penyihir perempu-an yang menyeramkan diciptakan saat histeria sihir pada akhir abad pertengah-an, yang diawali dengan penggambaran Shakespeare dalam drama Macbeth me- Rahmat Setiawan, Sri Nurhidayah/Atavisme, 22 2, 2019, 159-171 170 Copyright © 2019, Atavisme, ISSN 2503-5215 Online, ISSN 1410-900X Print lalui tokoh Weird Sisters yang memiliki jari-jari berbonggol, berjanggut, dan ber-bibir tipis. Pada era itu, perempun yang diang-gap berkaitan dengan paganisme atau melakukan hubungan dengan iblis akan diburu, lalu dibunuh dengan berbagai macam cara seperti dibakar dan diteng-gelamkan ke dalam sungai. Melalui peng-gambaran Shakespeare dalam tokoh Weird Sisters, citra penyihir perempuan dianggap androgini secara fisik dan seca-ra langsung maupun tidak langsung, turut menjelaskan kemampuan dan kekuatan sihir mereka dalam memberikan pro-phecy atau ramalan kepada Macbeth. Ada juga beberapa contoh femme fatale yang secara fisik cantik. Salah sa-tunya adalah Medusa, tokoh mitos Yuna-ni yang memiliki rambut ular. Menurut mitos yang beredar, pada awalnya Medu-sa adalah seorang perempuan yang can-tik jelita. Karena ia melawan Athena, Athena menghukumnya dengan mengu-bah rambutnya menjadi ular-ular yang mendesis. Meskipun demikian, beberapa mitos menyebutkan bahwa ia tetaplah cantik dengan rambut ularnya, sedangkan da-lam legenda Raja Arthur, terdapat tokoh Morgan le Fay yang juga dianggap seba-gai femme fatale. Ia adalah istri dari Raja Lot dari Orkney yang menggoda Raja Arthur. Mereka kemudian memiliki seorang putra yang bernama Mordred yang pada akhirnya membunuh Raja Arthur sendiri. Kombinasi dari kecantikan dan ke-ngerian menjadi yang menarik bagi ba-nyak penulis dan seniman. Dari berbagai contoh di atas, cerita-cerita tentang pe-rempuan, kisah yang mengerikan, kuat, dan terkadang juga cantik, sering di gam-barkan di dalam karya sastra dan terus, direproduksi berulang-ulang. Tubuh perempuan menjadi penanda bahwa dibalik sosok yang dianggap can-tik, kuat, maupun ambisius, tersimpan bahaya yang dapat menjadi ancaman bagi kekuasaan maupun jiwa laki-laki. Meng-hancurkan femme fatale berarti mengu-kuhkan kembali kekuasan laki-laki. SIMPULAN Cerita pendek âThe Appointment in Sa-marraâ karya William Somerset Maugham mengimplikasikan wacana pa-triarkis dengan merepresentasikan pe-rempuan dengan kematian, namun de-ngan pembacaan dekonstruktif, terjadi paradoks dalam proses akuisisi makna. Melalui pembacaan dekonstruktif, perempuan akhirnya mendapatkan sta-tus dekonstruktifnya. Di satu sisi perem-puan menjadi sosok yang mengerikan yang membawa laki-laki kepada kema-tian, sehingga hal ini mendukung mitos-mitos serta narasi-narasi yang mengaso-siasikan perempuan dalam narasi degra-dasi terhadap laki-laki. Namun di sisi lainnya, dengan pembacaan dekonstruk-tif, terjadi pembongkaran serta desentra-lisasi sehingga representasi perempuan menjadi kacau, kabur, dan tersebar, tidak terkristalkan dalam wacana patriarkis; perempuan adalah kematian yang dita-kuti oleh semua makhluk, tidak terkecuali laki-laki. Perempuan memiliki kuasa. Itu adalah proposisi wacana tandingan mela-lui teks naratif ini. DAFTAR PUSTAKA Barbosa de Almeida, M. W. 2015. Struc-turalism. In International Encyclope-dia of the Social & Behavioral Sci-ences Second Edition https//doi. org/ Bradley, A. 2008. Derridaâs of Gramma-tology. Indiana Indiana University Press Chandler, D. 2005. Semiotics for Begin-ners https//doi. org/ 0b013e3181e7ff75 Connell, R. W., & Messerschmidt, J. W. Rahmat Setiawan, Sri Nurhidayah/Atavisme, 22 2, 2019, 144-156 Copyright © 2019, Atavisme, ISSN 2503-5215 Online, ISSN 1410-900X Print 171 2005. Hegemonic Masculinity Re-thinking the Concept. Gender and So-ciety 0891243205278639. Davidson, H. M., Derrida, J., & Spivak, G. C. 1979. Of Grammatology. Compara-tive Literature 2307/1771131. Demirhan, K., & Ăakir-Demirhan, D. 2015. Gender and Politics Patri-archal Discourse on Social Media. Public Relations Review https//doi. org/ Gainsford, P. 2005. Agamemnon. The Classical Review Hanson, H., & Oârawe, C. 2010. The Femme Fatale Images, Histories, Contexts. In The Femme Fatale Images, Histories, Contexts https// Hard, R. 2003. The Routledge Hand-book of Greek Mythology. In The Routledge Handbook of Greek My-thology 9780203446331 Hawkes, T. 2002. Structuralism & Semi-otics. In Structuralism & Semiotics 30025 Julian, R. 2016. Mitos Kecantikan dalam Cerpen-Cerpen Dwi Ratih Ramadhany. Poetika https//doi. org/ / Kershner, R. B. 2014. Intertextuality. In The Cambridge Companion to Ulys- ses CCO9 Maugham, 1933. The Appointment in Samarra. edu/english/baker/English320/ Norris, C. 2017. Deconstruction. In Com-panion to Literary Theory https// Ohmann, R. 2019. Reading the Roman-ce Women, Patriarchy, and Popular Literature. Radical Teacher https// Page, P. M. 2004. Course in General Linguistics Ferdinand de Saussure. Language. Perkins, R. L. 1995. The Cambridge Companion to Kant. International Studies in Philosophy https//doi. org/ Sarup, M. 1988. An Introductory guide to Post-Structuralism and Postmod-ernism. London Harvester Wheatsheaf Seaford, R. 1990. The Imprisonment of Women in Greek Tragedy. The Jour-nal of Hellenic Studies https// Stocker, B. 2006. Derrida on Decon-struction. In Derrida on Deconstruc-tion 203358115 Watson, H., & Wood-Harper, T. 1996. Deconstruction Contexts in Inter-preting Methodology. Journal of In-formation Technology https//doi. org/ ... Akan tetapi, di sisi lain penggambaran tersebut membuat perempuan menjadi sosok yang mengerikan, yaitu membawa laki-laki kepada kematian. Hal ini menguatkan mitos-mitos dan narasi-narasi mengerikan yang dilekatkan kepada perempuan Setiawan, R & Nurhidayah, 2019. ...Nana RuhaidaWening UdasmoroNovel A Thousand Splendid Suns berbicara mengenai solidaritas dua perempuan yang merupakan istri pertama dan kedua yang berasal dari usia dan kelas sosial yang berbeda dalam latar gejolak konflik politik di Afghanistan. Poligami biasanya menghasilkan persaingan di antara para istri, tetapi kedua perempuan tersebut justru memiliki solidaritas kuat dalam menghadapi kekerasan suami, masyarakat, dan negara mereka. Permasalahan di dalam penelitian ini adalah mengapa solidaritas digarisbawahi sebagai sebuah fenomena masyarakat ketika menghadapi masa krisis seperti situasi kekerasan dan konflik? Penelitian ini menggunakan konsep solidaritas perempuan dan interseksi gender dari Chandra Talpade Mohanty. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan penyebab solidaritas sesama perempuan di dalam novel ini digarisbawahi sebagai sebuah fenomena masyarakat ketika menghadapi masa krisis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan data-data yang terkait dengan persoalan solidaritas dan interseksi gender. Penelitian ini mengungkapkan bahwa solidaritas perempuan menguat ketika mereka berada dalam situasi krisis yang sama sehingga satu-satunya cara menumbangkan dominasi maskulin berbentuk kekerasan adalah melalui kunci solidaritas; interseksi gender; A Thousand Splendid Suns; Chandra Mohanty[Womenâs Solidarity in Khaled Hosseiniâ Novel A Thousand Splendid Suns] The novel A Thousand Splendid Suns talks about the solidarity of two women who are the first and second wives from different ages and social classes in Afghanistan's political turmoil setting. Polygamy usually produces competition between wives, but both women actually have a strong solidarity in facing the violence of their husband, society, and state. The problem in this research is why solidarity is underlined as a community phenomenon when facing times of crisis, such as situations of violence and conflict. This study uses the concept of women's solidarity and gender intersection from Chandra Talpade Mohanty. The study aims to explain the solidarity causes among women in this novel, which is underlined as a community phenomenon when facing a crisis. The method used in this research is descriptive qualitative with data related to issues of solidarity and gender intersection. This research revealed that women's solidarity strengthens when they are in the same crisis. The only way to subvert masculine domination in the form of violence is through solidarity. Imas MarfudhotunWiyatmi WiyatmiPatriarchal capitalism shows the dominance of men in the various life sector. Feminism, as a style, demands gender equality. This research aims to understand body autonomy in a short story "Wanita Muda di Sebuah Hotel Mewah" with Sara Mills' feminist perspective. This descriptive qualitative method took the data from the short story written by Hamsad Rangkuti in 2016, published by Senja. This research observed the subjects, objects, and readers via reading and note techniques. The results showed that the sixteen-year-old woman became the object. The woman did not have any autonomy over her body. The other problem was the economic problems that made her sold his virginity. The self-trafficking process of the hotel officer made the officer the subject. The third matter, the beauty of the body and the virginity, was the co-modification that had price value. The fourth, the woman could not control her body. The feminist interpretation, based on Sara Mills, in the short story, showed that the woman became the object, the guess, and the hotel officer as the subject. The position woman also had the reader's position, the hotel officer, and the hotel OhmannIn a class on popular fiction, this book leads students to a more sophisticated understanding of what Harlequin romances and similar books might mean to their JulianThis study highlights the myth of beauty in short stories written by Dwi Ratih Ramadhany, which are âJanda Sungai Gayamâ and âPerempuan Bisu dan Cermin Ratuâ. The perspective utilized in this study is the myth of beauty by Naomi Wolf. The results are 1 both the short stories illustrate standards of beauty identified by long black hair, long neck, sensual lips, body fragrant, white-toned-smooth-skin, and slim body; 2 in both short stories, the quality of beauty refers to behaviors that could arouse an excitement rather than merely consider physical appearance;3 regarding beauty not as an intrinsic quality, it is affected by external factors, for instance cosmetic and supernatural powers. Myth of beauty in both short stories stands on the runway of menâs interest and taste, and womenâs motive toachieve resources provided by men, which are called loyalty, recognition, praise and charm. Kajian ini mengangkat isu mitos kecantikan dalam cerpen-cerpen Dwi Ratih Ramadhany, yakni "Janda Sungai Gayamâ dan âPerempuan Bisu dan Cermin Ratuâ. Perspektif yang digunakan adalah mitos kecantikan Naomi Wolf. Hasilnya antara lain 1 kedua cerpen tersebut menggambarkan bahwa cantik memiliki standar baku rambut hitam panjang, leher jenjang, bibir merekah, tubuh wangi, kulit kencang-putih-mulus, dan langsing; 2 dalam cerpen-cerpen tersebut, sesungguhnya kualitas cantik lebih merujuk pada perilaku yang dapat membangkitkan gairah daripada penampakan fisik; 3 karena cantik bukan merupakan kualitas instrinsik, ia dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, yaitu kosmetik dan kekuatan supranatural. Mitos kecantikan dalam kedua cerpen tersebut berdiri di atas landasan kepentingan dan selera laki-laki, serta motif perempuan untuk mendapatkan sumber daya yang disediakan oleh laki-laki, yaitu kesetiaan, pengakuan, pujian, dan NorrisThis chapter approaches the topic of deconstruction through a selective account of Jacques Derrida's work along with that of Paul de Man and other thinkers such as Geoffrey Hartman. It offers a critical and cultural perspective by reviewing the complex receptionâhistory of Derrida's thought and the often sharply contrasted ways in which his texts have been read, understood, and applied by different interpretative communities, most notably philosophers and literary critics. Beyond that it seeks to clarify the issues at stake in a mode of reading so intensely aware of the logical and rhetorical complications that arise in the process of examining its own as well as other Brandon KershnerFew books in the English language seem to demand a companion more insistently than James Joyce's Ulysses, a work that at once entices and terrifies readers with its interwoven promises of pleasure, scandal, difficulty and mastery. This volume offers fourteen concise and accessible essays by accomplished scholars that explore this masterpiece of world literature. Several essays examine specific aspects of Ulysses, ranging from its plot and characters to the questions it raises about the strangeness of the world and the density of human cultures. Others address how Joyce created this novel, why it became famous and how it continues to shape both popular and literary culture. Like any good companion, this volume invites the reader to engage in an ongoing conversation about the novel and its lasting ability to entice, rankle, absorb, and media is an alternative communication space embedded with opportunities for free and equal participation. However, it perpetuates the dominant discourses on society. This study researches on a Twitter case explaining the production of patriarchal discourse on women with the help of tweets under the hashtag; âa woman has to beâ. This study supports the idea that social media needs the dynamism of alternative digital publics and alternative discourses to challenge the dominant power relations as well as improving Watson Trevor Wood-HarperThis paper considers how a methodology's theory and practice shapes contexts for interpretation. With these two terms as starting points, we also address a paradoxical situation any description of interpreting contexts is bound to leave something out. To address this, we propose deconstruction as a double strategy for critically interpreting contexts in each situation. This relies on terms of existing oppositions in conceptual frameworks but seeks to displace the limitations they impose on how we conduct inquiry. Since meaning is context-bound but contexts are boundless, we argue that inquiry should be conducted through critical perspectives, and we describe this in terms of a systems analyst's expertise in conceptual triangulation the defining of an unknown point in relation to two known of Information Technology 1996 11, 59Â70. doi
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Di masa pandemik seperti sekarang ini membaca menjadi salah satu kegiatan yang sering dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Baik itu membaca buku fiksi maupun cerita yang bahagia kerap kali dibayangkan oleh para pembaca buku fiksi yang sudah baper di setiap adegan dalam bagaimana jika kebaperan di awal yang kita baca berakhir menyedihkan? Saya sebagai pembaca nonfiksi, jika mendapatkan cerita yang berakhir sad ending, pasti akan uring - uringan, kepikiran dan tidak menyangka cerita yang saya pilih dan baca akan berakhir seperti itu. Sad ending, bad ending, ex sad ending dan ex bad ending adalah sekumpulan cerita yang berakhir tidak sesuai ekspetasi kita pada saat membaca di awal, sedih sebelumnya saya sudah menyiapkan mental, tapi selalu saja cerita yang berakhir sad ending, akan sangat menyakitkan bagi segelintir orang termasuk bisa menangis sesenggukan hingga kepikiran selama 3 hari hanya karena cerita yang berakhir sad ending, menjadi emosional saat diajak berbicara atau menyalahkan si penulis yang menurut saya tidak becus karena membuat akhir cerita yang sebegitu menyedihkannya, dan padahal itulah yang di inginkan penulis dan mereka merasa berhasil karena kita terhanyut pada cerita fiksi karangan mereka yang pastinya telah melakukan riset mendalam mengenai apa dan yang tidak perlu dilakukan pada scene - scene jika sudah berakhir gantung, rasanya saya ingin menabrakkan ingatan saya agar segera lupa dengan cerita tersebut. Tapi apapun jenis endingnya pasti memiliki kelebihan serta kekurangan bagi para pembacanya masing - masing, agar cerita tersebut tidak klise dan mengejutkan apalagi dikejutkan itu seru! Lihat Hobby Selengkapnya
cerpen sad ending kematian